Oleh : Zulkifli
Makassar, Menit7.co.id – Poin kritik kepada pihak penyelenggara lomba gerak jalan indah yang berlangsung di Pangkep
Tidak memberikan syarat kepada peserta lomba agar menampilkan sesuatu yang tidak bertentangan dengan nilai luhur pancasila yaitu” ketuhanan yang maha esa” yang berakibat tampilnya kelompok waria pada lomba tersebut yang ditonton khalayak umum termasuk anak di bawah umur.
Poin kritik kepada pihak kepolisian
UU No. 2 Tahun 2002 pada pasal 13 menjelaskan bahwa polri bertugas untuk menegakkan hukum, maka sudah seharusnya polri tidak membiarkan kelompok waria untuk tampil dihadapan publik karena jelas bertentangan dengan pasal 28 J UUD 1945 tepatnya pada ayat 2 “Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk pada mereka yang ditetapkan dengan undang-undang dengan tujuan semata-mata untuk memastikan pengakuan serta atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk menghadapi yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan penggunaan umum dalam suatu masyarakat demokratis”.
Kekecewaan kepada seluruh elemen masyarakat yang menyadari hal ini tetapi tidak melakukan langkah apapun walaupun hanya sekedar pernyataan sikap menolak. Terkhusus kepada MUI Sulsel yang telah menerima kabar kejadian tersebut namun sampai hari ini belum menyatakan sikap apapun.
Populasi transgender atau waria terus berkembang, salah satu faktornya adalah karena mereka mulai mendapatkan panggung untuk tampil dihadapan publik. Penampilan mereka yang awalnya hanya dijadikan sebagai bahan hiburan namun tanpa disadari mereka dapat menyebarkan pengaruh kepada orang lain untuk melakukan hal yang sama. Tentunya ini menjadi ancaman bagi kualitas generasi bangsa kedepannya.
Dasar pemikiran
Dengan dalih bergembira atas perayaan hari kemerdekaan, gerak jalan waria di Pangkep justru menyimpang dari konstitusi NKRI. Gerak jalan perayaan kemerdekaan Indonesia sering dilaksanakan di Indonesia. Gerak jalan tersebut biasanya dilakukan oleh para pelajar mulai dari jenjang SD hingga SMA. Namun saat ini kita dikejutkan dengan berlangsungnya gerak jalan yang dilakukan oleh waria di Pangkep.
Sebagaiamana yang kita ketahui bahwa Waria atau Transgender merupakan suatu hal yang menyimpang dari nilai nilai agama dan moral bahkan bertentangan dengan konstitusi Indonesia.
Tertuang dalam ketetapan MPR No. 111/MPR/2000, tepatnya pada pasal 1 ayat 3 menyatakan bahwa sumber hukum dasar nasional adalah Pancasila sebagaimana dalam pembukaan UUD 1945.
Sila pertama Pancasila adalah Ketuhanan Yang Maha Esa. Indonesia mengakui adanya Tuhan Sang Penguasa Alam, Implementasi nyata dari pengakuan terhadap Tuhan adalah dengan menaati perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya seperti yang termaktub dalam kitab suci dan ajaran agama.
Sedangkan Transgender merupakan sesuatu hal yg melanggar nilai nilai ketuhanan yg maha esa.
Pasal 29 ayat (2) Undang-Undang Dasar Tahun 1945 juga menyatakan bahwa Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduknya untuk memeluk agama.
Bangsa Indonesia menganut 6 agama yaitu Islam, Kristen Katolik, Kristen Protestan, Hindu, Buddha, dan Konghucu.
Tidak satupun Agama yang dianut di Indonesia memperbolehkan perilaku seksual menyimpang termasuk Transgender.
Pihak yang pro terhadap LGBT biasanya menggunakan alasan HAM versi barat untuk menguatkan argumentasinya. Sedangkan HAM di Indonesia punya terminologi tersendiri yang selaras dengan deklarasi HAM di Kairo pada tahun 1990.
Dalam Pasal 28 J Undang-Undang Dasar 1945 menyatakan sebagai berikut :
- Setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
- Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk pada mereka yang ditetapkan dengan undang-undang dengan tujuan semata-mata untuk memastikan pengakuan serta atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk menghadapi yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai- nilai agama, keamanan, dan penggunaan umum dalam suatu masyarakat demokratis.
Selain itu, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia secara lebih dalam mengatur mengenai kebebasan berekspresi tersebut, dalam Pasal 22 ayat (3) Undang-Undang itu menyebutkan, ” Setiap orang bebas, mengeluarkan, dan menyebarluaskan pendapat sesuai hati nuraninya secara lisan atau tulisan melalui media maupun media cetak elektronik dengan memperhatikan nilai-nilai agama, kesusilaan, kepentingan umum, dan keutuhan bangsa .”
Memang, setiap manusia memiliki kebebasan masing-masing, tetapi jika ditelaah lebih dalam bahwa kebebasan yang dimiliki berbanding lurus dengan batasan yang harus dipenuhi pula, seperti apakah melanggar agama, kesusilaan, kepentingan umum, hingga keutuhan bangsa?
Oleh karena itu, sebagai wujud dari ketaatan negara pada konstitusinya, pemerintah dalam menangani fenomena tersebut tidak boleh memberikan panggung dan kesempatan kepada mereka kaum LGBT untuk menyebarluaskan pengaruhnya ke masyarakat umum, Sebab bertentangan dengan pasal 28 J UUD 1945.