Oleh Abdel Sanggip
Bagai gajah di pelupuk mata yang tidak nampak, intoleransi dan diskriminasi agama ini bagaikan angin lalu yang tidak digubris dengan pelaku dibiarkan tanpa diadili.
Muncul kekhawatiran ketika kondisi ini terus berulang, orang-orang akan menganggapnya hal yang normal. Padahal sebagai warga negara Indonesia, bukankah kedudukan semuanya sama dan tidak ada hirarki pada agama?
Kebebasan beragama sudah termaktub didalam banyak pasal salah satunya Pasal 29 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945, bahwa negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya.
Namun pada implementasinya, faktanya yang kontras justru ditemukan di lapangan.
Jadi kehadiran dan keterlibatan negara sangat mutlak perlu dalam mengawal dan menjamin kebebasan beragama, berkeyakinan, membentuk serikat atau membentuk kelompok masyarakat.
Jika ditarik ke belakang, kasus intoleransi agama bukan hal baru dan sudah menjadi pekerjaan rumah lama.
Kasus-kasus perpecahan agama seperti konflik SARA di Poso pada akhir tahun 90-an, konflik Ambon pada 1999 yang diawali pemalakan.
Kelompok pemuda tertentu melakukakan pemaksaan hendak pada warga yang lainnya. Hingga berita itu kemudian menyebar dan membakar amarah kelompok masyarakat.
Kemudian konflik Tolikara yang terjadi karena kelompok tertentu menyerang kelompok lainnya yang sedang melaksanakan ibadah.
Aparat keamanan yang saat itu sedang berjaga tidak berdaya menghadapi massa, Konflik Situbondo pada 1996 akibat warga yang tidak puas atas hukuman yang diberikan kepada seorang penista agama.
Tak perlu menunggu penegakan hukum menjadi lebih baik, upaya yang berawal dari inisiatif masyarakatlah yang dibutuhkan saat ini.
Narasi-narasi heroik yang bernafaskan kemanusiaan untuk mengutuk perbuatan diskriminatif kini harus digaungkan pula di dalam negeri.
Tanpa melihat latar belakang suku, agama, warna kulit maupun golongan. Mari galakkan toleransi atas dasar rasa prihatin, prihatin pada sesama manusia yang lahir bersama di negeri Indonesia.
Utopia kedamaian di tengah keberagaman yang dimimpikan oleh para founding father bangsa nampak semakin jauh untuk diraih jika melihat kondisi intoleransi antar umat beragama di Indonesia apalagi ketika kita hendak ingin bergerak maju pada Indonesia Emas 2045.
Oleh karena itu, kami dari Dewan Pimpinan Cabang Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia Mamuju (DPC GMNI Mamuju) mengecam tindakan diskriminatif serta intoleransi dari semua pihak yang melakukan hal keji serta perilaku yang tidak pancasilais.
Maka berangkat dari hal pelik diatas kami membawa beberapa point tuntutan diantaranya;
1.) Rakyat Indonesia harus bergotong-royong dalam menghentikan persoalan diskriminasi dan intoleransi
2.) Pemerintah Daerah Sampai Pemerintah Pusat wajib menghentikan persoalan keidentitasan di Indonesia
3.) Aparat penegak hukum (APH) harus menindak tegas kepada oknum yang melakukan tindakan diskriminasi di Negara Kesatuan Republik Indonesia
4.) Pemerintah wajib meningkatkan pendidikan kebangsaan
5.) Hentikan rasisme di tanah air (Abdel Sanggip).
Isi tulisan/Artikel ini sepenuhnya tanggungjawab Penulis